Disadur dari tulisan Rosemarie North/IFRC
SEKIRA satu kilometer dari laut di daerah Anyer, Banten terdapat jalan menanjak berbatu yang curam. Di sanalah Desa Kamasan, Kecamatan Cinangka, Serang Banten berada. Sejak tsunami yang mematikan melanda wilayah Banten sekitar pukul 21:30 pada Sabtu malam 22 Desember lalu, populasi desa tersebut membengkak oleh sekitar 1.300 orang. Mereka adalah masyarakat dari Kampung Sirih yang mengungsi setelah bencana tsunami melanda pemukiman mereka.
Sebuah bangunan besar dengan kubah putih besar terlihat di tengah desa. Bangunan tersebut adalah Masjid Al-Jid. Dikarenakan pembangunannya belum selesai, masjid tersebut tidak berpintu juga tidak berjendela. Namun demikian, bangunan tersebut menjadi lokasi pengungsian sekitar 300 orang kebanyakan perempuan dan anak-anak.
Ani (28 tahun) mengenang bagaimana ia tiba di tempat perlindungan yang damai itu.
“Saya sedang tidur ketika ombak datang. Ibu saya menelepon saya. ‘Apa yang kamu lakukan di dalam? Keluar! Air pasang akan datang! Ombak datang! ’” ingat Ani.
Ani dan suaminya langsung berlari ke jalan, tetapi ia memikirkan neneknya berusia 80 tahunan yang sendirian dan tidak dapat berjalan. Ani mengatur sepupu di dekatnya untuk menjemput nenek mereka ke tempat yang lebih tinggi menggunakan sepeda motor. Sementara itu, Ani dan suaminya berlari menuju langsung ke perbukitan.
Berhari-hari, dia masih trauma dengan apa yang terjadi.
“Saya masih kaget. Saya tidak merasa aman di rumah. Saya waspada setiap saat. “
Tsunami, kemungkinan besar dipicu oleh tanah longsor di dekat Gunung Anak Krakatau. Bencana ini telah mengakibatkan 430 orang meninggal, melukai sekitar 1.500 orang dan menyebabkan 150 orang masih dinyatakan hilang. Dampak tsunami juga merusak ratusan bangunan, kendaraan dan kapal, dan meninggalkan sampah puing-puing di sepanjang garis pantai di kedua sisi selat Sunda, yang memisahkan pulau Jawa dan Sumatra.
Saat ombak datang, Iyung sedang makan malam bersama keluarganya. Dia diperingatkan oleh putranya, berusia 17 tahun, yang saat itu berada di pantai. Iyung segera meraih anak-anaknya yang lain, berusia 5 dan 12, dan mereka berlari menjauhi pantai.
“Syukurlah putra saya melihat keluar. Dia ada di pantai dan mendengar teriakan sehingga dia pulang untuk menjemput kami,” kata Iyung.
“Saya tidak membawa barang apapun. Saya hanya ingat saya masih memiliki uang di saku, sisa dari membeli obat batuk pada hari sebelumnya. ”
Iyung memiliki pengalaman serupa pada tahun 2015, ketika angin puting beliung datang. Bencana itu menghancurkan toko kecilnya di tepi laut. Saat itu, air di sawah setinggi pinggang. Saat putting beliung datang, Iyung dan keluarganya lari menuju masjid yang sama.
“Saya telah membangun kembali toko saya, tetapi tidak dibuka akhir tahun ini karena takut ada bencana lain. Firasat saya benar,” kata Iyung.
Pada siang hari, Iyung meninggalkan tempat pengungsian untuk kembali ke rumahnya dekat pantai. Di rumah ia menyempatkan memasak karena di masjid hanya terdapat teh dan kopi. Beberapa warga lain juga ada yang kembali pulang di siang hari untuk mengambil barang-barang penting, seperti pakaian, pembalut dan susu bayi untuk ibu yang ASI-nya mengering karena stres.
Banyak yang mengatakan rumah mereka masih tegak berdiri, tetapi mereka takut untuk tetap tinggal di rumah karena peringatan adanya gelombang tinggi masih berlangsung. Meski mereka merasa aman tinggal di masjid sebagai lokasi pengungsian, namun karena adanya peringatan itu, setiap malam ada saja masyarakat yang ramai naik ke dataran tinggi.
“Kadang saat saya sedang tidur, saya kaget karena mendengar suara berisik dan suara sepeda motor di malam hari. Saya tidak bisa tidur lagi karena merasa waswas,” jelas Iyung.
Beberapa hari setelah bencana, terdapat beberapa peringatan risiko. Tidak hanya tentang masih terjadinya gelombang tinggi, tetapi juga adanya abu dan asap dari Anak Krakatau yang kembali erupsi.
“Saya mendengar Krakatau batuk,” kata Iyung. “Ada abu di mana-mana. Mata saya jadi perih seperti kena cabai.”
Sepupu Iyung, Umamah, yang kembali tiga bulan lalu setelah bekerja di Yordania selama 15 tahun, juga berada di penampungan bersama tujuh anggota keluarga termasuk bayi berusia satu bulan.
“Kami masih mendengar peringatan untuk menjauh dari pantai karena ombaknya masih tinggi sehingga kami takut,” kata perempuan yang mahir berbahasa Arab ini.
“Jika pihak berwenang setempat memberi tahu kami bahwa kami bisa pulang, kami akan melakukannya. Tapi untuk saat ini ombak masih deras.”
“Saya juga khawatir orang mungkin mencuri barang-barang dari rumah saya, tetapi saya juga memikirkan diri saya serta keluarga saya. Saya ingin aman. Jika barang-barang kami hilang, tidak apa-apa. Itu hanya barang.”
“Sekarang saya merasa sedikit lebih tenang. Saya percaya pada Tuhan dan mungkin bencana ini memang kehendak Tuhan. Jadi saya mencoba menerimanya,” kata Umamah yang lebih memilih tinggal bersama keluarganya di Indonesia daripada kembali ke Yordania.
Kepala Desa Kamasan, Pak Awang, khawatir tentang masa depan para pengungsi. Delapan puluh persen masyarakat bergantung pada bisnis di sepanjang pantai, yang populer sebagai lokasi wisata. Tidak jelas kapan mereka akan bisa kembali bekerja, atau kapan wisatawan akan kembali.
Prioritas Pak Awang sekarang adalah membantu orang memahami risiko tanpa menimbulkan kepanikan yang tidak perlu. Alih-alih menggunakan pengeras suara, ia dan rekannya di desa pergi ke masing-masing dusun untuk memberitahu masyarakat tentang adanya peringatan untuk menjauhi pantai dan menggunakan masker saat terjadi hujan abu.
“Adalah tugas saya untuk merawat masyarakat,” katanya kepada Palang Merah Indonesia.
Dari penjelasan Kepala desa, kebutuhan paling mendesak dari orang-orang yang mengungsi dari rumah mereka seperti Umamah, Iyung dan Ani adalah air, terpal, selimut, dan perawatan medis.*