Sebanyak 6.512 gempa tektonik terjadi di Indonesia per tahunnya, 543 kejadian per bulannya dan 18 kejadian gempa per harinya. Sebagian besar berskala kecil, namun tak sedikit gempa yang menimbulkan korban jiwa dan kerugian materiil. Palang Merah Indonesia (PMI) bekerja sama dengan berbagai pihak berupaya mengurangi risiko ini dengan konsep rumah anti-gempa atau retrofitting di wilayah rawan gempa.
Di Indonesia, menurut data Center Earthquake Science And Technology (CEST) Institute Teknologi Bandung (ITB), dua wilayah yang rawan terjadi gempa adalah Sukabumi dan Banyuwangi. Di kedua wilayah tersebut diketahui terdapat aktivitas sesar Cipamingkis (Sukabumi) dan sesar Wongsorejo (Banyuwangi) yang terbilang aktif. Karenanya, pengurangan risiko bencana penting dilakukan di kedua wilayah tersebut.
“Siapa pun, penelitian apa pun belum berkapasitas mengetahui kapan terjadinya gempa, yang kita ketahui hanya probabilitasnya. Sementara bahaya tidak bisa dikurangi, tapi risiko akan turun kalo kita bisa meningkatkan kapasitas,” terang Hendra Gunawan peneliti CEST ITB dalam webinar Pengurangan Risiko Bencana, Retrofitting berbasis masyarakat.
PMI bersama Palang Merah Amerika (Amcross) dan USAID menggerakkan kampanye pengurangan risiko bencana gempa di kedua wilayah tersebut dengan retrofitting. Bersama relawan Siaga Bencana Berbasis Masyarakat (Sibat), mereka mengampanyekan ketahanan rumah dari gempa.
Praktisi retrofitting Amcross Arwin Soelaksono menjelaskan, meski berada di wilayah yang rawan gempa, banyak masyarakat belum menerapkan standar rumah aman gempa. Padahal, korban jiwa dalam gempa sebagian besar disebabkan reruntuhan bangunan atau konstruksi.
“Pada dasarnya, retrofitting ini adalah upaya meningkatkan kekuatan bangunan sesuai standar SNI. Ini juga upaya preventif atau mitigasi di tingkat keluarga. Banyak kebiasaan praktik konstruksi yang salah,” jelas Arwin.
Meski dihadapkan dengan sejumlah tantangan, gerakan atau kampanye retrofitting ini tetap berlangsung. Pada umumnya, penolakan dari masyarakat lantaran biaya. Salah satu relawan Sibat Banyuwangi Danang mengakalinya dengan mencoba beragam pendekatan. Mulai dari menyederhanakan bahasa teknis, hingga pendekatan sosial.
“Kami sampaikan secara sederhana, rumah aman gempa itu pada dasarnya ada 3 syarat. Pertama, banyak sekat makin selamat. Kedua, lubang tembok seperti jendela, pintu dan sebagainya, makin banyak maka semakin kurang aman. Ketiga, semakin tinggi semakin ringan bahan,” terang Danang.
Relawan Sibat dibantu praktisi memberikan pedoman retrofitting kepada warga agar mandiri. Bimbingan itu dimulai dari perencanaan, pelaksanaan, hingga taksiran anggaran. Perlahan tapi pasti, sejumlah warga di sejumlah wilayah sasaran program ini mengerti.
“Tidak semua diterima, tapi kami tetap semangat. Kami yakin sedikit demi sedikit bermanfaat,” tukas Shinta, relawan Sibat Banyuwangi.