BANTU HUBUNGKAN KELUARGA HINGGA BANTU LAYANAN KESEHATAN
Genap 130 hari sejak 24 Juni 2020, Palang Merah Indonesia (PMI) menyalurkan bantuan dan pelayanan kepada 381 Migran Myanmar di Balai Latihan Kerja (BLK), Desa Meunasah mee Kandang, Muara Dua, Lhokseumawe, Aceh. Tak cuma bantuan materiil, bantuan moril pun diberikan dalam bentuk pelayanan psikologis dan sebagainya.
Betapa pun dihadapkan dengan tantangan pandemi Covid-19, para relawan PMI setia membantu, seperti yang dilakukan Petugas Pemulihan Hubungan Keluarga Rozy Noval dan petugas ambulans Gibral Nauval Althoriq. Hampir setiap hari keduanya membantu memenuhi kebutuhan migran Myanmar bersama puluhan relawan lainnya.
Kedatangan Rozy barangkali yang paling ditunggu migran Myanmar di penampungan. Karena melalui Rozy, para migran bisa terhubung dengan keluarga atau saudaranya via sambungan telepon. Untuk sekedar melepas rindu atau memberikan kabar, para migran diberikan waktu 3 menit selama sebulan menggunakan layanan ini.
“Khusus untuk kelompok rentan, untuk anak-anak di bawah umur itu diberikan waktu 5 menit,” imbuhnya.
Rozy menuturkan, layanan Pemulihan Hubungan Keluarga atau Restoring Family Link (RFL) ini dinilai efektif mengurangi beban psikis selama di penampungan sementara. Perasaan tidak sendiri dan terhubung dengan keluarga, kata Rozy, diharapkan bisa meringankan beban psikis selama hidup di penampungan. Tercatat, sudah 283 migran Myanmar memanfaatkan layanan ini.
Di antara ratusan penerima manfaat layanan RFL ini terdapat juga anak yang kehilangan orang tua atau pendamping selama eksodus. Bagi mereka, PMI memberikan perlakuan khusus di layanan RFL. Mereka diberi kesempatan waktu 10 menit selama sebulan untuk menelepon. Alasannya, kata Rozy, untuk mengurangi trauma pada anak.
“Anak-anak ini dikhususkan agar memulihkan mereka dari trauma, itu salah satu caranya. untuk mengurangi stres mereka,” terangnya.
Ada International Organization for Migration (IOM) dan UNHCR yang juga terlibat dalam pelayanan tersebut. Mereka berbagi tugas, IOM menyediakan penerjemah, UNHCR mendata, sementara PMI memfasilitasi pelayanan tersebut. Rozy mengatakan, migran hanya diizinkan memberikan kabar serta lokasi penampungan selama RFL. Penerjemah, lanjutnya, akan membuat catatan dan diserahkan ke PMI sebagai dokumentasi.
“Alhamdulillah, dari seluruh kegiatan dari berbagai NGO, kami dapat applause dari IOM dan UNHCR karena dari berbagai kegiatan RFL ini sangat berdampak mengurangi trauma,” tambahnya.
Bila bantuan Rozy berdampak pada perbaikan kesehatan mental, pelayanan ambulans oleh Gibral berkutat pada kesehatan fisik migran. Petugas ambulans darurat ini stand by on call 24 jam mengantarkan migran yang menderita sakit ke fasilitas kesehatan terdekat. Sedikitnya 30 migran yang telah diantar Gibral ke Rumah Sakit Umum Daerah Cut Meutia.
Biasanya, kata Gibral, migran yang diantar ke RS sebelumnya diperiksa kesehatannya oleh petugas Dinas Kesehatan di penampungan. Namun, bila sakit tak kunjung membaik, migran tersebut dirujuk dengan ambulans ke RS terdekat.
“Saya sudah dua tahun menjadi petugas ambulans PMI, ini salah satu penugasan yang menantang karena di pandemi,” jelasnya.
Gibral mengaku selalu melengkapi diri dengan Alat Pelindung Diri level 3 selama bertugas dalam Operasi Penanganan Migran Myanmar. Hal tersebut, sambungnya, dilakukan demi menjaga diri dan pasien yang dibawanya. Selain itu, ia juga rutin mendesinfeksi ambulans tersebut demi keamanan.